Sosok perempuan dalam budaya Lamaholot merupakan sosok yang sangat dihormati dan dihargai oleh masyarakat Lamaholot itu sendiri
Wanita Lamaholot desa Mokantarak (by:Josep Kellen) |
Ungkapan klasik bahwa “surga di telapak kaki Ibu” memang
mampu menggambarkan bahwa betapa mulianya peran seorang peempuan dalam suatu
proses kehidupan manusia di muka bumi ini. Sosok perempuan yang menjadi sumber
suatu kehidupan dapat diibratkan sebagai Bumi yang melahirkan alam dan segala
isinya.Sosok perempuan juga muncul menjadi sosok pemelihara kehidupan di dunia.
Dalam setiap budaya yang tersebar diseluruh Nusantara
khususnya pada budaya-budaya Indonesia Timur, sosok prempuan selalu menjadi
yang ke dua, setelah sosok laki-laki yang mendominasi dalam segala bentuk
praktek kehidupan budaya dan kehidupan sosial.Konsep Patriarki yang telah
tumbuh dan berakar dalam budaya dan sistem sosial lah yang menjadi latar
belakang ketidaksetaraan “gender”
pada budaya-budaya yang tersebar di seluruh Nusantara khususnya budaya Timur
Nusantara.
Salah satu budaya yang masih memegang teguh nilai dan
pemahaman akan peran luhur perempuan dalam kehidupan adalah budaya Lamaholot
yang tersebar di wilayah Flores Timur, Adonara dan Lembata.
Budaya yang terus terpelihara dari zaman nenek moyang hingga
saat ini yang menempatkan perempuan sebagai sosok sumber kehidupan , sosok
pemelihara, serta sosok tempat bernaung anak-anak budaya Lamaholot sehingga
harus dijaga dan dilindungi. Hal ini sangat jelas nampak dalam tradisi
pernikahan adat Lamaholot, dimana harga diri seorang perempuan yang di pinang
diukur berdasarkan mas kawin atau dalam budaya Lamaholot disebut dengan “Belis”
berupa Gading gajah dan Hewan ternak sebagai penyerta dalam tradisi pernikahan
adat Lamaholot.
Budaya Lamaholot
Berbicara tentang budaya Lamaholot tentunya tidak terlepas
dari pemahaman akan alam sebagai tempat sekaligus sumber nilai yang dianut
masyarakat Lamaholot dalam kehidupanya. Dalam budaya Lamaholot konsep nilai
atau filsafat tentang alam sangat melekat dalam segala bentuk praktek kehidupan
budayanya. Hal ini dapat kita temukan dalam bebagai bentuk ungkapan serta
tradisi Lamaholot yang sangat kental dengan konsep alam itu sendiri, misalnya
untuk menyebut Tuhan sebagai pencipta, orang Lamaholot menyebutNya sebagai “Ama
Lera Wulan, Ina Tana Ekan” artinya adalah Bapa Matahari dan Bulan, Ibu Bumi”,
maksud dari ungkapan ini adalah Tuhan adalah Bapak matahari dan Bulan yang
selalu menyinari dan menjaga anak-anak Lamaholot baik dalam siang maupun dalam
kegelapan malam, serta Ibu bumi sebagai sumber kehidupan yang memelihara,
menjaga dan mengidupi anak- anak Lamaholot.
Upacara Golee Mati sebagai simbol persatuan dan kebersamaan yang terhimpun di dalam rumah adat Korke/Koko (foto by: Josep Kellen) |
Masyarakat Lamaholot meyakini alam adalah tempat mereka
hidup, meperoleh makanan , becocok tanam serta tempat mereka kembali ketika
akhir hidup mereka. Kearifan terhadap alam ini kemudian secara turun temurun
melekat dalam budaya dan adat istiadat mereka.Hal ini kemudian memungkinkan
mereka hidup dan berpikir secara sosial, total, konkret, intuitif, iduktif,
emosional (melibatkan perasaan dalam memandang alam), mitis-magis (memandang
alam sebagai penjelmaan Wujud Tertinggi atau roh-roh halus), dan simbolis. Alam
dipandang sebagai suatu kekuatan yang menguasai manusia sehingga mereka lari
dan berlindung pada alam karena manusia yakin bahwa di dalamnya hiduplah para
nitu (roh penjaga alam) dan Lera Wulan Tana Ekan.(Fidelis.2011).
Dari pemahaman masyarakat Lamaholot tentang alam inilah
kemudian tercermin dalam setiap praktek kehidupan masyarakat Lamaholot termasuk
menempatkan sosok perempuan sebagai sossok yang pantas dilindungi dan
dihormati. Karena perempuan adalah Ibu yang melahirkan, menjaga , merawat serta
membesarkan anak-anaknya.
Pernikahan Adat Lamaholot
Dalam sejarah perkembangannya wilayah Lamaholot terbagi
dalam dua kerajaan besar yang tersebar diseluruh wilayah Flores Timur, Adonara,
Solor dan Lembata. Kedua kerajaan tersebut adalah kerjaan Demon Pagong yang
dalam budaya Lamaholot lebih dikenal dengan “Demon Lewo Pulo” yang
berarti kerajaan denga sepuluh wilayah yang tersebar di hampir seluruh wilaya
Flores Timur, dan Kerajaan Paji atau dalam budaya Lamaholot dikenal dengan “Paji
Watan Lema” yang berarti kerajaan denga Lima pantai yang meliputi Wilayah
Adonara, Solor dan Lembata. Meskipun berbeda pengaruh kerajaan akan tetapi adat
istiadat serta budaya Lamaholot tetap sama dalam prakteknya, termasuk tradisi
upacara pernikahan. (Deri: 2008)
Prosesi "Haba Binek" dalam upacara penikahan adat suku Lamaholot "Haba Binek sebagai tanda restu seorang Pria Lamaholot kepada saudarinya untuk memasuki keluarga baru. (foto By Josep Kellen) |
Dalam budaya Lamaholot dikenal dengan sistem perkawinan
Patrilineal, dimana mas kawin atau belis dalam bahasa Lamaholot disebut “Welin”
yang dibayarkan oleh mempelai pria berupa gading gajah atau dalam bahasa
Lamaholot disebut dengan “Bala” sebagai simbol nilai seorang perempuan
Lamaholot. Ukuran dan jumlah belis disesuaikan dengan status sosial seorang
perempuan Lamaholot, biasanya semakin tinggi status sosial seorang perempuan
Lamaholot maka semakin besar ukuran belis dan semakin banyak jumlah belis yang
harus dibayar oleh mempelai pria.Ukuran gading juga bukan diukur bedasarkan
Meter melainkan panjang depa orang dewasa. Belis seorang gadis atau ”kebarek”
untuk kaum bangsawan atau ”Ata Kebel’en” biasanya lima gading dan untuk
masyarakat biasa 3 gading (Bala). (Muli:2012).
Selain gading atau “bala” sebagai syarat mutlak dalam
pernikahan adat budaya Lamaholot adapula sarung tenun serta hewan ternak dan
hasil pertanian juga sebagai syarat dalam meminang mempelai perempuan, oleh
karena itu seorang perempuan Lamaholot diwajibkan untuk bisa menenun agar kelak
ketika saudara laki-lakinya atau dalam bahasa Lamaholot “naa” yang menikah kain
tenun itu bisa digunakan untuk meminang. Sistem pernikahan dalam budaya
Lamaholot biasanya membentuk system segitiga dimana dalam kekerabatan “Opu dan
Belake” itu seorang pria hanya boleh menikahi anak perempuan dari paman jauh (
bukan saudara kandung ibu). Maksud dari “opu” adalah pihak laki-laki dari
mempelai pria dan “Blake” adalah saudara laki-laki dari Ibu atau mempelai
perempuan, dalam pernikahan Lamaholot kedudukan”opu” adalah yang melayani
“blake”.Sistem ini terus dipegang teguh hingga saat ini.
Perempuan Lamaholot memang bukan merupakan tokoh sentral
dalam budaya patriarki Lamaholot. Peran utama dalam suku Lamaholot selau
dipegang oleh kaum pria, karena perempuan Lamaholot dianggap sebagai “kayo
lolon” atau daun yang akan terbang kemana saja sesuai dengan arah angin, maksud
dari ungkapan ini adalah perempuan Lamaholot pasti suatu saat akan meninggalkan
sukunya dan pergi bergabung dengan suku dimana suaminya berada. Meskipun
demikian seorang perempuan Lamaholot akan selalu di jaga dan dilindungi karena
perempuan adalah “bala” atau belis itu sendiri, dan siapapun yang mengganggu
atau bahkan melecehkan seorang perempuan Lamaholot maka akan didenda dengan
“bala” atau belis sesuai dengan tingkat pelanggaranya.
Gading gajah atau “bala” dalam budaya Lamaholot memang
merupakan barang langka yang sulit didapat serta sangat mahal harganya.Masuknya
gading gajah ke wilayah Lamaholot berawal pada abad permulaan perdagangan
rempah-rempah, cendana, emas dll. (Balawala:2011). Sistem kekerabatan yang
kolektif dalam suku- suku yang mendiami wilayah Lamaholot mengakibatkan
peputaran gading gajah “Bala” hanya berlangsung dalam wilayah Lamaholot.
Mentalitas masyarakat Lamaholot yang kolektif mampu mempersatukan
tiap keluaga dalam suku tersebut, hal ini nampak pada nama fam atau marga yang
melekat nama seseorang yang menandakan dari suku mana ia berasal karena pada
dasarnya peredaran gading gajah atau “bala” pasti akan melalui suku bukan
keluarga sendiri, sukulah yang merundingkan dan memutuskan mahar atau belis
yang pantas untuk anak perempuan atau saudari mereka. Oleh karena itu setiap
keluarga sangat mementingkan urusan suku ketimbang urusan keluarga mereka masing-masing,
karena sukulah basis sosial terkecil dan otonom yang menaungi keluarga-keluarga
yang ada di dalamnya. (Pati: 2008).
Perempuan
Lamaholot adalah sosok “bumi” yang teduh untuk bernaung dan memperoleh
kehidupan, perempuan Lamaholot juga hadir sebagai air, tanah, pohon, rumah,
serta alam yang sepantasnya dijaga dan dilindungi karena kepadanyalah kehidupan
berasal dan kembali.
Upacara "Pa'u Nuba" yaitu memberi makan Para Leluhur dan alam semesta sebagai bagian dari tata cara hidup bersama Masyarakat suku Lamaholot. (foto by Josep Kellen) |
Kedekatan masyarakat Lamaholot dengan alam yang menjadikan
alam sebagai bagian yang tak terpisahkan dari segala bentuk praktek
budaya dan adat istiadat mereka. Alam yang menjadi sumber nilai dan dan
falsafah hidup selalu ditranformasikan kedalam adat istiadat dan budaya
masyarakat Lamaholot.Sosok perempuan Lamaholot yang dipandang sebagai sosok ibu
bumi yang melahirkan kehidupan, menjaga dan merawat, serta menjadi tempat
bernaung dan berlindung. Belis atau mas kawin yang menggunakan gading gajah
sebagai lambang penghargaan tertinggi terhadap perempuan mampu menjadi sarana
yang paten dalam menempatkan perempuan sebagai pribadi yang harus di hormati
dan di lindungi.
I am so proud of you.
BalasHapus