Selasa, 27 November 2018

Gading Gajah Sebagai Penghargaan Terhadap Wanita Dalam Budaya Lamaholot

Posted By: BLEBUNG - November 27, 2018

Share

& Comment

Sosok perempuan dalam budaya Lamaholot merupakan sosok yang sangat dihormati dan dihargai oleh masyarakat Lamaholot itu sendiri 
Wanita Lamaholot desa Mokantarak (by:Josep Kellen) 


Ungkapan klasik bahwa “surga di telapak kaki Ibu” memang mampu menggambarkan bahwa betapa mulianya peran seorang peempuan dalam suatu proses kehidupan manusia di muka bumi ini. Sosok perempuan yang menjadi sumber suatu kehidupan dapat diibratkan sebagai Bumi yang melahirkan alam dan segala isinya.Sosok perempuan juga muncul menjadi sosok pemelihara kehidupan di dunia.

Dalam setiap budaya yang tersebar diseluruh Nusantara khususnya pada budaya-budaya Indonesia Timur, sosok prempuan selalu menjadi yang ke dua, setelah sosok laki-laki yang mendominasi dalam segala bentuk praktek kehidupan budaya dan kehidupan sosial.Konsep Patriarki yang telah tumbuh dan berakar dalam budaya dan sistem sosial lah yang menjadi latar belakang ketidaksetaraan “gender” pada budaya-budaya yang tersebar di seluruh Nusantara khususnya budaya Timur Nusantara. 
Salah satu budaya yang masih memegang teguh nilai dan pemahaman akan peran luhur perempuan dalam kehidupan adalah budaya Lamaholot yang tersebar di wilayah Flores Timur, Adonara dan Lembata.
Budaya yang terus terpelihara dari zaman nenek moyang hingga saat ini yang menempatkan perempuan sebagai sosok sumber kehidupan , sosok pemelihara, serta sosok tempat bernaung anak-anak budaya Lamaholot sehingga harus dijaga dan dilindungi. Hal ini sangat jelas nampak dalam tradisi pernikahan adat Lamaholot, dimana harga diri seorang perempuan yang di pinang diukur berdasarkan mas kawin atau dalam budaya Lamaholot disebut dengan “Belis” berupa Gading gajah dan Hewan ternak sebagai penyerta dalam tradisi pernikahan adat Lamaholot. 

Budaya Lamaholot

Berbicara tentang budaya Lamaholot tentunya tidak terlepas dari pemahaman akan alam sebagai tempat sekaligus sumber nilai yang dianut masyarakat Lamaholot dalam kehidupanya. Dalam budaya Lamaholot konsep nilai atau filsafat tentang alam sangat melekat dalam segala bentuk praktek kehidupan budayanya. Hal ini dapat kita temukan dalam bebagai bentuk ungkapan serta tradisi Lamaholot yang sangat kental dengan konsep alam itu sendiri, misalnya untuk menyebut Tuhan sebagai pencipta, orang Lamaholot menyebutNya sebagai “Ama Lera Wulan, Ina Tana Ekan” artinya adalah Bapa Matahari dan Bulan, Ibu Bumi”, maksud dari ungkapan ini adalah Tuhan adalah Bapak matahari dan Bulan yang selalu menyinari dan menjaga anak-anak Lamaholot baik dalam siang maupun dalam kegelapan malam, serta Ibu bumi sebagai sumber kehidupan yang memelihara, menjaga dan mengidupi anak- anak Lamaholot. 
Upacara Golee Mati sebagai simbol persatuan dan kebersamaan yang terhimpun di dalam rumah adat Korke/Koko (foto by: Josep Kellen) 

Masyarakat Lamaholot meyakini alam adalah tempat mereka hidup, meperoleh makanan , becocok tanam serta tempat mereka kembali ketika akhir hidup mereka. Kearifan terhadap alam ini kemudian secara turun temurun melekat dalam budaya dan adat istiadat mereka.Hal ini kemudian memungkinkan mereka hidup dan berpikir secara sosial, total, konkret, intuitif, iduktif, emosional (melibatkan perasaan dalam memandang alam), mitis-magis (memandang alam sebagai penjelmaan Wujud Tertinggi atau roh-roh halus), dan simbolis. Alam dipandang sebagai suatu kekuatan yang menguasai manusia sehingga mereka lari dan berlindung pada alam karena manusia yakin bahwa di dalamnya hiduplah para nitu (roh penjaga alam) dan Lera Wulan Tana Ekan.(Fidelis.2011).
Dari pemahaman masyarakat Lamaholot tentang alam inilah kemudian tercermin dalam setiap praktek kehidupan masyarakat Lamaholot  termasuk menempatkan sosok perempuan sebagai sossok yang pantas dilindungi dan dihormati. Karena perempuan adalah Ibu yang melahirkan, menjaga , merawat serta membesarkan anak-anaknya. 

Pernikahan Adat Lamaholot

Dalam sejarah perkembangannya wilayah Lamaholot terbagi dalam dua kerajaan besar yang tersebar diseluruh wilayah Flores Timur, Adonara, Solor dan Lembata. Kedua kerajaan tersebut adalah kerjaan Demon Pagong yang dalam budaya Lamaholot lebih dikenal dengan “Demon Lewo Pulo” yang berarti kerajaan denga sepuluh wilayah yang tersebar di hampir seluruh wilaya Flores Timur, dan Kerajaan Paji atau dalam budaya Lamaholot dikenal dengan “Paji Watan Lema” yang berarti kerajaan denga Lima pantai yang meliputi Wilayah Adonara, Solor dan Lembata. Meskipun berbeda pengaruh kerajaan akan tetapi adat istiadat serta budaya Lamaholot tetap sama dalam prakteknya, termasuk tradisi upacara pernikahan. (Deri: 2008)
Prosesi "Haba Binek" dalam upacara penikahan adat suku Lamaholot
"Haba Binek sebagai tanda restu seorang Pria Lamaholot kepada saudarinya untuk memasuki keluarga baru. (foto By Josep Kellen)

Dalam budaya Lamaholot dikenal dengan sistem perkawinan Patrilineal, dimana mas kawin atau belis dalam bahasa Lamaholot disebut “Welin” yang dibayarkan oleh mempelai pria berupa gading gajah atau dalam bahasa Lamaholot disebut dengan “Bala” sebagai simbol nilai seorang perempuan Lamaholot. Ukuran dan jumlah belis disesuaikan dengan status sosial seorang perempuan Lamaholot, biasanya semakin tinggi status sosial seorang perempuan Lamaholot maka semakin besar ukuran belis dan semakin banyak jumlah belis yang harus dibayar oleh mempelai pria.Ukuran gading juga bukan diukur bedasarkan Meter melainkan panjang depa orang dewasa. Belis seorang gadis atau ”kebarek” untuk kaum bangsawan atau ”Ata Kebel’en” biasanya lima gading dan untuk masyarakat biasa 3 gading (Bala). (Muli:2012). 
Selain gading atau “bala” sebagai syarat mutlak dalam pernikahan adat budaya Lamaholot adapula sarung tenun serta hewan ternak dan hasil pertanian juga sebagai syarat dalam meminang mempelai perempuan, oleh karena itu seorang perempuan Lamaholot diwajibkan untuk bisa menenun agar kelak ketika saudara laki-lakinya atau dalam bahasa Lamaholot “naa” yang menikah kain tenun itu bisa digunakan untuk meminang. Sistem pernikahan dalam budaya Lamaholot biasanya membentuk system segitiga dimana dalam kekerabatan “Opu dan Belake” itu seorang pria hanya boleh menikahi anak perempuan dari paman jauh ( bukan saudara kandung ibu). Maksud dari “opu” adalah pihak laki-laki dari mempelai pria dan “Blake” adalah saudara laki-laki dari Ibu atau mempelai perempuan, dalam pernikahan Lamaholot kedudukan”opu” adalah yang melayani “blake”.Sistem ini terus dipegang teguh hingga saat ini.
Perempuan Lamaholot memang bukan merupakan tokoh sentral dalam budaya patriarki Lamaholot. Peran utama dalam suku Lamaholot selau dipegang oleh kaum pria, karena perempuan Lamaholot dianggap sebagai “kayo lolon” atau daun yang akan terbang kemana saja sesuai dengan arah angin, maksud dari ungkapan ini adalah perempuan Lamaholot pasti suatu saat akan meninggalkan sukunya dan pergi bergabung dengan suku dimana suaminya berada. Meskipun demikian seorang perempuan Lamaholot akan selalu di jaga dan dilindungi karena perempuan adalah “bala” atau belis itu sendiri, dan siapapun yang mengganggu atau bahkan melecehkan seorang perempuan Lamaholot maka akan didenda dengan “bala” atau belis sesuai dengan tingkat pelanggaranya.
Gading gajah atau “bala” dalam budaya Lamaholot memang merupakan barang langka yang sulit didapat serta sangat mahal harganya.Masuknya gading gajah ke wilayah Lamaholot berawal pada abad permulaan perdagangan rempah-rempah, cendana, emas dll. (Balawala:2011). Sistem kekerabatan yang kolektif dalam suku- suku yang mendiami wilayah Lamaholot mengakibatkan peputaran gading gajah “Bala” hanya berlangsung dalam wilayah Lamaholot.   Mentalitas masyarakat Lamaholot yang kolektif mampu mempersatukan tiap keluaga dalam suku tersebut, hal ini nampak pada nama fam atau marga yang melekat nama seseorang yang menandakan dari suku mana ia berasal karena pada dasarnya peredaran gading gajah atau “bala” pasti akan melalui suku bukan keluarga sendiri, sukulah yang merundingkan dan memutuskan mahar atau belis yang pantas untuk anak perempuan atau saudari mereka. Oleh karena itu setiap keluarga sangat mementingkan urusan suku ketimbang urusan keluarga mereka masing-masing, karena sukulah basis sosial terkecil dan otonom yang menaungi keluarga-keluarga yang ada di dalamnya. (Pati: 2008).
Perempuan Lamaholot adalah sosok “bumi” yang teduh untuk bernaung dan memperoleh kehidupan, perempuan Lamaholot juga hadir sebagai air, tanah, pohon, rumah, serta alam yang sepantasnya dijaga dan dilindungi karena kepadanyalah kehidupan berasal dan kembali.  
Upacara "Pa'u Nuba" yaitu memberi makan Para Leluhur dan alam semesta sebagai bagian dari tata cara hidup bersama Masyarakat suku Lamaholot. (foto by Josep Kellen)

Kedekatan masyarakat Lamaholot dengan alam yang menjadikan alam sebagai bagian yang tak terpisahkan dari segala bentuk praktek budaya  dan adat istiadat mereka. Alam yang menjadi sumber nilai dan dan falsafah hidup selalu ditranformasikan kedalam adat istiadat dan budaya masyarakat Lamaholot.Sosok perempuan Lamaholot yang dipandang sebagai sosok ibu bumi yang melahirkan kehidupan, menjaga dan merawat, serta menjadi tempat bernaung dan berlindung. Belis atau mas kawin yang menggunakan gading gajah sebagai lambang penghargaan tertinggi terhadap perempuan mampu menjadi sarana yang paten dalam menempatkan perempuan sebagai pribadi yang harus di hormati dan di lindungi.

About BLEBUNG

Organic Theme. We published High quality Blogger Templates with Awesome Design for blogspot lovers.The very first Blogger Templates Company where you will find Responsive Design Templates.

1 komentar:

Copyright © BALE-BUNG

Designed by Templatezy